Japan

Free JAPAN Cursors at www.totallyfreecursors.com

Cuaca Yogyakarta

Helikopter

Welcome

ADVERTISEMENT

Rabu, 28 November 2012

Ulama Gaza: Melanggar Gencatan Senjata Berarti Dosa

rakyat Gaza merayakan gencatan senjata (AFP)
Gaza, - Seorang ulama terkemuka di Jalur Gaza, Suleiman al-Daya mengeluarkan fatwa haram bagi pelanggaran gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Ulama Palestina itu mengingatkan warga untuk tidak melanggar gencatan senjata tersebut.

"Menghormati gencatan senjata, yang disponsori oleh saudara Mesir kita, adalah kewajiban kita semua. Melanggarnya berarti dosa," demikian bunyi fatwa tersebut seperti dikutip Al Arabiya, Senin (26/11/2012).

Gencatan senjata yang disponsori Mesir pada 21 November lalu telah mengakhiri eskalasi ketegangan di perbatasan Gaza.

Sesuai kesepakatan gencatan senjata itu, Israel harus "menghentikan semua kekejaman di darat, laut dan udara termasuk serbuan dan menargetkan individu-individu". Faksi-faksi Palestina juga harus menghentikan "serangan-serangan roket dan semua serangan di sepanjang perbatasan".

Dalam perjanjian itu juga disebutkan, Israel akan mengizinkan masuknya barang-barang ke Gaza, yang telah diblokade Israel sejak tahun 2007. Menurut pemimpin Hamas Khaled Meshaal, dengan kesepakatan itu berarti semua perlintasan ke Gaza akan dibuka.

Meshaal pun mengingatkan Israel untuk tidak melanggar perjanjian tersebut. "Jika Anda komit, kami akan komit. Jika Anda tidak komit, senjata ada di tangan kami," tegas pemimpin Hamas itu seraya menambahkan "kami akan terus mempersenjatai diri kami".

Lagi, 2 Warga Palestina Ditembak Tentara Israel

Gaza City - Lagi-lagi, insiden penembakan terjadi di wilayah perbatasan Gaza dengan Israel. Dua warga Palestina dilaporkan mengalami luka-luka setelah ditembak oleh tentara Israel.

Insiden ini terjadi di dekat pagar perbatasan Gaza yang berada di sebelah timur kota Rafah, tidak jauh dari perlintasan perbatasan Kerem Shalom. Kedua korban yang berada di dekat perbatasan terkena tembakan tentara Israel.

Satu korban terluka di bagian lengan dan lainnya di bagian kaki. Demikian seperti disampaikan oleh juru bicara Kementerian Kesehatan Gaza Asharf al-Qudra kepada AFP, Selasa (27/11/2012).

Aksi penembakan ini terjadi tepat sehari setelah insiden penembakan lainnya di wilayah Khan Yunis yang melukai seorang warga Palestina. Aksi ini juga merupakan yang ketiga kali terjadi pasca gencatan senjata disepakati pada Rabu (21/11) malam waktu setempat.

Padahal menurut kesepakatan tersebut, kedua pihak baik Israel maupun Hamas harus menghentikan aksi saling serang. Terlebih, pemerintah Hamas memutuskan untuk menerjunkan personel kepolisiannya di wilayah perbatasan untuk mencegah terjadinya kembali bentrokan yang bisa memperburuk keadaan.

Diketahui juga bahwa berdasar kesepakatan tersebut, Israel mengizinkan warga Gaza untuk menggarap lahan sawah mereka yang terletak di dekat perbatasan. Israel memberlakukan 'buffer zone' atau zona netral sejauh 300 meter dari wilayah perbatasan Gaza. Ketentuan tersebut juga dimaksudkan untuk melindungi warga Palestina dari serangan membabi buta di wilayah perbatasan. Namun ternyata, tetap saja aksi penembakan terjadi di dekat perbatasan.

Rabu, 14 November 2012

Dewi Sartika


Dewi Sartika (lahir di Bandung, 4 Desember 1884 – meninggal di Tasikmalaya, 11 September 1947 pada umur 62 tahun) adalah tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Indonesia tahun 1966. Ayahnya, Raden Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan. Terakhir, sang ayah dihukum buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga meninggal dunia di sana. Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda , Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula.

Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda. Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.

Raden Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Seko lah Dasar di Cicalengka, sejak kecil memang sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan. Dikatakan demikian karena sejak anak-anak ia sudah senang memerankan perilaku seorang guru. Sebagai contoh, sebagaimana layaknya anak-anak, biasanya sepulang sekolah, Dewi kecil selalu bermain sekolah-sekolahan dengan teman-teman anak perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat senang berperan sebagai guru. Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.

Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh kesempatan menuntut ilmu pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di Bandung, Jawa Barat. Ketika itu, ia sudah tinggal di Bandung. Perjuangannya tidak sia-sia, dengan bantuan R.A.A.Martanegara, kakeknya, dan Den Hamer yang menjabat Inspektur Kantor Pengajaran ketika itu, maka pada tahun 1904 dia berhasil mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya “Sekolah Isteri”. Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua aktivitas sekolah. Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan Kepatihan Bandung. Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran agama.


Sekolah Istri tersebut terus mendapat perhatian positif dari masyarakat. Murid- murid bertambah banyak, bahkan ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya juga tidak cukup lagi menampung murid-murid. Untuk mengatasinya, Sekolah Isteri pun kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Seiring perjalanan waktu, enam tahun sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi Sekolah Keutamaan Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata
pelajaran juga bertambah.

Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikannya. Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya. Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran.


Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia ke-sepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh.

Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Déwi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.

Jangan tanya apa yang telah diberikan negara kepadamu, tapi apa yang telah kamu berikan pada negaramu. Kata bijak tersebut sangat tepat menjadi panduan semua bangsa yang hendak menobatkan seseorang sebagai penerima gelar kehormatan ‘pahlawan’ di negaranya.

Terlepas dari bentuk atau cara perjuangannya, seorang pahlawan pasti telah berbuat sesuatu yang heroik untuk bangsanya sesuai kondisi zamannya. Demikian halnya dengan Raden Dewi Sartika. Jika pahlawan lain melakukan perjuangan untuk bangsanya melalui perang frontal seperti angkat senjata, Dewi Sartika memilih perjuangan melalui pendidikan, yakni dengan mendirikan sekolah. Berbagai tantangan, khususnya di bidang pendanaan operasional sekolah yang didirikannya sering dihadapinya. Namun berkat kegigihan dan ketulusan hatinya untuk membangun masyarakat negerinya, sekolah yang didirikannya sebagai sarana pendidikan kaum wanita bisa berdiri terus, bahkan menjadi panutan di daerah lainnya.
 

Riwayat Perjuangan Sultan Hasanuddin

Nusantara kita terdiri dari ribuan pulau dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah. Diantara pulau-pulau itu, ada sebuah pulau yang bentuknya menyerupai huruf K. Pulau itu tidak lain adalah Pulau Sulawesi. Dahulu, pada abad ke-15 sampai abad ke-17, di bagian pulau sulawesi terletak sebuah kerajaan yang besar dan disegani bernama kerajaan gowa. Menurut catatan para ahli, kerajaan gowa ini didirikan pada sekitar tahun 1300 Masehi dan dikenal serta disegani oleh bangsa Eropa kerena kebesaran dan kekuatan armada perangnnya. Salah satu raja yang memerintah kerajaan gowa itu adalah I Mallombasi Daeng Mattawang, Karaeng Bonto Mangape, Sultan Hasanuddin, Tumenanga ri Ballapangkana (yang meninggal di istananya yang indah). Beliau dikenal sebagai Sultan Hasanuddin, yang dijuluki "Ayam Jantan Dari Timur". Raja Gowa ke-16 yang memerintah kerajaan gowa tahun 1653-1669 menggantikan ayahnya Sultan Malikussaid yang memerintah pada tahun 1639-1653.

I Mallombasi, nama kecil dari Sultan Hasanuddin yang dilahirkan pada tanggal 12 Januari 1631. Ayahnya bernama I Manuntungi Daeng Mattola, Karaeng Lakiung yang bergelar Sultan Malikussaid dan ibunya bernama I Sabbe To'mo Lakuntu, Putri bangsawan Laikang adalah salah seorang istri Sultan Malikussaid. Sultan Hasanuddin atau I Mallombasi mempunyai seorang saudara perempuan yang bernama I Sani atau I Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je'ne yang kemudian menjadi permaisuri Sultan Bima, Ambela Abul Chair Sirajuddin.
Masa Kelahiran Dan Remaja
Pada saat kelahiran dan masa kecil I Mallombasi Sultan Hasanuddin Ayahnya belum menjadi raja Gowa. Sejak kecil Sultan Hasanuddin telah menunjukan kelebihannya dari saudara-saudaranya yang lain. Kecerdasan dan kerajinannya dalam belajar sangat menonjol. Walaupun Hasanuddin adalah putra bangsawan, pada masa kecilnya sangat rendah hati dan perbuatannya selalu jujur. Dia sangat disayangi karena sifatnya itu. Pendidikannya di Pusat Pendidikan dan Pengajaran Islam di Mesjid Bontoala membentuk Hasanuddin menjadi pemuda yang beragama dan memiliki semangat perjuangan.
Pada umur 8 tahun, Sultan Alauddin Mangkat setelah memerintah selama 46 tahun. Hasanuddin merasa sangat sedih sekali. Kemudian ayahnya yang mengantikan kakek Beliau menjadi raja Gowa ke-15. Beliau dilantik pada tanggal 15 Juni 1639. Mas remaja Hasanuddin diisi dengan kesibukan belajar dan bergaul dengan kawan-kawannya dan juga dengan putra-putra raja Bone yang waktu itu menjadi tawanan kerajaan Gowa.

Pada usia 16 tahun Hasanuddin kerap kali hadir menyertai ayahnya dalam perundingan-perundingan penting. Dalam kesempatan itulah I Mallombasi Sultan Hasanuddin mulai belajar ilmu pemerintahan, diplomasi dan ilmu perang. Kecakapan dalam bidang ini sudah menonjol, Hasanuddin juga banyak mendapat bimbingan dari ayahnya serta mangkubumi kerajaan Gowa Karaeng Pattingaloang tokoh yang paling berpengaruh dan cerdas. Pergaulan Hasanuddin tidak hanya dalam lingkungan bangsawan istana dan rakyatnya, tetapi meluas kepada orang asing, melayu, b\portugis dan inggris yang pada saat itu banyak berkunjung ke Makassar untuk berdagang.

Pada usia 20 tahun, Sultan Hasanuddin beberapa kali menjadi utusan mewakili ayahnya mengunjungi kerajaan nusantara yang bersahabat, membawa titah persatuan nusantara. Juga terutama pada daerah-daerah dalam gabungan pengawalan kerajaan Gowa, Hasanuddin selalu mendapat tugas membawa amanat Raja Gowa yang tak lain adalah ayahnya sendri. Menjelang umurnya 21 tahun, Sultan Hasanuddin dipercaya untuk menjabat urusan Pertahanan Kerajaan Gowa dan banyak membantu ayahnya mengatur pertahanan guna menangkis serangan Belanda yang saat itu mulai dilancarkan.

Penobatan Sultan Hasanuddin Menjadi Raja Gowa Ke-16
I Mallombasi bukanlah putra mahkota yang mutlak menjadi pewaris kerajaan. Apalagi derajat kebangsawanan ibunya lebih rendah dari ayahnya. I Mallombasi diangkat menjadi raja karena adanya pesan dari ayahnya sebelum wafat. Mangkubumi Kerajaan Karaeng Pattingaloang juga mendukung keputusan almarhum Raja Gowa Malikussaid. Dukungan itu diberikan karena sifat-sifat Hasanuddin yang tegasa dan berani. Juga kemampuan serta pengetahuan yang luas dan menonjol dari saudaranya yang lain. Kerajaan Gowa memang memerlukan Raja yang berani serta bijaksana menghadapi perang dengan penjajah Belanda.

I Mallombasi Daeng Mattawang dinobatkan menjadi Raja Gowa ke-16 dengan gelar Sultan Hasanuddin pada bulan Nopember 1653 menggantikan ayahnya pada saat beliau berusia 22 tahun. Dua tahun setelah dinobatkan Sultan Hasanuddin kemudian menikahi I Bate Daeng Tommi atau I lo'mo Tombong Karaeng Pabineang dan menjadi permaisurinya. I Bate Daeng Tommi adalah putri Mangngada' Cinna Daeng Sitaba, Karaeng Pattingaloang mangkubumi Kerajaan Gowa.

Masa Jaya Kerajaan Gowa
Lama sebelum Sultan Hasanuddin dilahirkan, Kerajaan Gowa adalah kerajaan yang besar. Pelabuhan Makassar ramai dikunjungi oleh para pedagang dari Portugis, Ingris dan Belanda. Pada masa Sultan Alauddin memerintah, Kerajaan Gowa telah tumbuh semangat persatuan nusantara dari kerajaan-kerajaan besar. Persahabatan akrab antara Raja Mataram di Pulau Jawa, Sultan Aceh di Sumatra, Sultan Ternate di Maluku, Sultan Banten di Jawa Barat dan lainnya.

Persaingan antara Portugis, Inggris, Spanyol dan Belanda menimbulkan ketegangan-ketegangan keren aketiga bangsa penjajah itu masiing-masing mau memonopoli perdagangan rempah-rempah dari Maluku dan perdagangan di Malaka. Kekuatan armada perang Kerajaan Gowa sudah terkenal kemana-mana. Persahabatan dengan Ternate, Bima, Ambon dan kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi dan Maluku memberi kewajiban kepada armada perang Kerajaan Gowa untuk melindungi kerajaan itu dari serangan penjajah.

Sultan Muhammad Said ayah dari Sultan Hasanuddin terkenal sebagai seorang raja yang berani, bijaksana, hormat kepada orang tua, tahu membalas budi serta tidak mebeda-bedakan antara bangsawan dan orang kebanyakan. Pandai bergaul dengan sesamanya raja dan dipuji sebagai orang yang meperlakukan rakyatnya sebagai manusia. Dia bersahabat dengan Gubernur Spanyol di Manila, Raja Muda Portugis di Goa India, Presiden di Keling (Koromandel India), Saudagar di Masulipatan (India). Bersahabat dengan Raja Ingris, Raja Portugal, Raja Kastilia (Spanyol) dan dengan Mufti di Mekah. Mufti inilah yang mula-mula meberi gelar "Sultan Muhammad Said" Karena memang nama Arabnya adalah Malikussaid.

Awal Masa Perang
Perang pertama dengan Belanda terjadi pada saat Hasnuddin berumur 3 tahun. Tahun 1631 sampai 1634 armada Gowa dan Ternate saling serang dengan armada Belanda di perairan Maluku. Tahun 1634 Raja Gowa mengirim armada terdiri dari 100 perahu perang ke Ambon membantu rakyat Ambon melawan Belanda yang memusnahkan pohon-pohon cengkeh dan pala di Maluku.

Raja Gowa berkewajiban melindungi kerajaan sekutunya di Ambon. Perang itu dikenal dengan nama perang Hongi. Setahun sesudah itu belanda mengirim 12 kapal ke perairan Makassar dan memulai menembaki benteng galesong. Untunglah setahun sebelumnya benteng yang terbuat dari tanah itu sudah diubah dan dibuat dari batu, sedangkan perahu dan kapal perang armada Gowa sudah meninggalkan perairan Makassar sebagai taktik untuk menghindari bentrokan. Serangan Belanda ini gagal total.

Keinginan Kompeni Belanda untuk mengusai dan menaklukkan Gowa makin kuat. Berbagai cara dipergunakan. Pada bulan Juni 1637 Kompeni Belanda yang dipimpin Gubernur Jendral Anthony Van Diemen berhasil membuat perjanjian dengan Kerajaan Gowa. Van Diemen meminta agar Raja Gowa melarang Portugis dan inggris berdagang di Makassar, tetapi permintaan itu ditolak oleh Sultan Alauddin. Orang Belanda belum diluaskan untuk tinggal dan menetap di Makassar. Pada waktu itu Raja Gowa menerima tamu-tamu asing di istananya yang terdapat di dalam benteng Somba Opu.

Benteng Pertahanan
Pengepungan beberapa kali oleh kompeni Belanda terhadap pantai makassar menambah keyakinan bahwa kompeni Belanda pada suatu saat akan menyerbu dan melaksanakan niatnya untuk merebut dan menaklukkan kerajaan Gowa. Kompeni Belanda memang mau memonopoli perdagangan rempah dari maluku. Sultan Hasanuddin yang waktu itu telah sering menjadi duta dan mengurus pertahanan Kerajaan Gowa dengan dukungan Karaeng Pattingaloang Mangkubumi Kerajaan Gowa mulai memperkuat benteng di sepanjang pantai.

Ada tiga 3 Benteng yang diperkuat dan dipasangi meriam. Benteng Somba Opu yang menjadi pertahanan utama, dan menjadi kediaman Sultan, tebalnya 12 kaki. Benteng ini dipasangi meriam besar yang dijuluki "Anak Mangkasara" dan ada lebih 270 meriam-meriam kecil lainnya. Meriam "Anak Mangkasara" ini dibuat pada tahun 1593 dengan panjang 3 meter dan garis tengah lubang mulutnya 41,5cm serta beratnya 500kg (11.000 Pound).

Selama perang antara Gowa dan Belanda berlangsung, tahun-tahun berikutnya Sultan Hasanuddin kemudian membangun lagi benteng Mariso, Anak Gowa dan kale Gowa serta beberapa benteng lagi di daerah Bantaeng dan juga sebuah parit yang panjangnya 3 setengah kilometer antara Binanga Beru dan Ujung Tanah.

Benteng yang memperkuat Pantai Kota Makassar itu berjajar dari utara keselatan : Tallo (Mangngara' Bombang), Benteng Ujungpandang atau Ford Rotterdam, Benteng Somba Opu dan Benteng Barombong. Antara Tallo dengan Ujungpandang terdapat Benteng kecil Ujung tanah, antara Benteng Ujungpandang dengan Benteng Somba Opu dan Benteng Barombong terdapat benteng kecil Panakkukang, yaitu sebuah kastil kecil tempat raja beristirahat.

Benteng Somba Opu, sebagai tempat kediaman Raja, dilindungi pula oleh sebuah benteng besar di sebelah timurnya yang bernama Anak Gowa, sedangkan di sebelah timur benteng Anak Gowa terdapat benteng Tamalate (Het Ringmuur Van Gowa).

Masa Perang Perlawanan
Sultan Hasanuddin sebagai Raja Gowa memeliki kewajiban untuk kerajaan sahabat-sahabat bawahannya, mulai dari sepanjang pesisir Pulau Sulawesi sampai Maluku. Satu-satunya halangan Belanda untuk menguasai perdagangan di Maluku adalah Kerajaan Gowa dan armadanya. Selama lebih dari 200 tahun kedua armada ini telah saling menyerang. Belanda memiliki kapal dan perlengkapan perang yang baik, sedangkan laskar dan pelaut armada Kerajaan Gowa memiliki semangat juang yang tinggi dan tidak takut mati ini karena budaya siri' na pacce telah berakar dihati sanubari para pejuang Kerajaan Gowa dan Aru atau sumpah setia para prajurit Kerajaan Gowa.

Tahun 1645 adalah tahun yang penuh cobaan bagi Sultan Hasanuddin, belum cukup setahun menduduki tahta, Mangkubumi yang berani dan bijaksana I Mangngada' Cinna Karaeng Pattingaloang wafat. Cobaan ini tidaklah menyurutkan tekad Sultan Hasanuddin, Karaeng Karunrung Putra Karaeng Pattingaloang naik menggantikan ayahnya sebagai mangkubumi kerajaan Gowa.

Perang dua hari dengan pasukan Belanda pada April 1655 di Buton yang dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin. Benteng pertahanan Kompeni Belanda di Buton berhasil direbut dan 35 orang Belanda terbunuh dalam peperangan ini. Belanda menyadari bahwa perang dengan Sultan Hasanuddin telah menelan biaya yang dan kerugian yang besar, maka diutuslah duta ke somba opu mewakili gubernur jendral belanda di Batavia. Utusan itu bernama Willem Van der beek dan menerima perjanjian tanggal 28 Desember 1655 yang berisi: "Pasukan Makassar yang berada di Maluku di tarik kembali, tukar menukar tawanan perang. Belanda berjanji, bila kerajaan Gowa berperang dengan salah satu bangsa maka kompeni Belanda tidak boleh ikut campur. Musuh Belanda bukanlah musuh Kerajaan Gowa".

Tahun 1657 Belanda mengutus lagi Willem Bastingh karena tidak senang melihat perdagangan antara Hitu, Seram dan Makassar berjalan lancar, karena ingin memonopoli perdagangan. Utusan itu membawa ultimatum yang bersifat mengancam kepada Sultan Hasanuddin. Ultimatum itu dibalas dengan surat yang juga bernada keras. Sultan Hasanuddin tidak mau menyerah. Semangatnya semakin membara, setiap benteng diperlengkapi. Kompeni Belanda memilih perang, armada besar dipersiapkan 31 kapal perang dan 2700 tentara terlatih dipimpin oleh Johan van Dam dan dibantu oleh Johan Truytman. Peperangan ini berlangsung selama hampir 2 tahun lamanya. Pada tangal 12 Juni 1660 Benteng Panakkukang jatuh ketangan Belanda.

Dengan semangat lebih baik mati daripada menyerah kepada Belanda, pasukan Sultan Hasanuddin bertempur selama dua hari, lebih dari 2000 orang portugis diusir dari Makassar dan armadanya dihancurkan. Orang Portugis ini oleh Belanda dikirim ke Pulau Timor, dari kedua belah pihak berjatuhan banyak korban yang tewas dan luka.

Setelah itu gencatan senjata dilakukan. Perundingan damai dilaksanakan. Karaeng Popo dan sejumlah bangsawan kerajaan Gowa berangkat ke Batavia untuk berunding. Hasilnya, adalah sebuah perjanjian yang merugikan Kerajaan Gowa. Perjanjian itu bernama Perjanjian Batavia yang berisi:
  1. Makassar tidak boleh campur tangan soal Buton, Ternate dan Ambon.
  2. Banda, Buton, Maluku, Manado tidak boleh didatangi oleh orang-orang Makassar.
  3. Orang Portugis dilarang berdagang di Makassar.
  4. Belanda Boleh Menetap di Makassar.
Sultan Hasanuddin terpaksa menanda tangani perjanjian itu,. Namun, perjanjian ini tidak berlangsung lama.

Belum hilang bekas perang dengan Belanda, Raja Bone melakukan pemberontakan dengan mulai memerangi Kerajaan Gowa. La Tenri Tatta to Erung Bergelar Arung Palakka, sahabat sepermainan Sultan Hasanuddin semasa kecil yang memimpin pemberontakan itu. Namun, laskar kerajaan Gowa dapat mematahkan pemberontakan itu pada tanggal 11 Oktober 1660. Arung Palakka bersama 4000 orang pasukannya menyingkir ke Buton dan mendapat perlindungan di sana. karena pada saat itu Sultan Buton telah bersekutu dengan Belanda.

Politik Memecah Belah
Belanda punya cara menaklukkan lawan. Kerajaan-Kerajaan Nusantara yang terpecah-pecahdiadu satu sama lain. Kedatangan Arung Palakka di Batavia disambut hangat oleh Kompeni Belanda. Kerugian yang diderita Belanda untuk menundukkan Sultan Hasanuddin cukup banyak dan sudah memakan waktu yang lama. Kesempatan menaklukkan Gowa sudah terbuka, Arung Palakka bisa diadu dengan Sultan Hasanuddin. Perang saudara bisa dilakukan.

Sambutan terhadap Arug Palakka sangat meriah. Daerah Angke di Batavia diberikan untuk tempat tinggal Arung Palakka bersama pengikutnya. Sultan Hasanuddin sangat sedih mendengarnya. Persiapan sudah dilakukan. Benteng-bentang sudah diperbaiki. Merian dan alat perang sudah ditambah, prajurit juga ditambah. Sementara itu Belanda sudah mempersiapkan suatu armada besar, pukulan terakgir untuk Kerajaan Gowa akan segera dilancarkan.

Pada tahun 1662 kapal Belanda De Walvis masuk ke perairan Makassar tanpa pemberitahuan. Pengawal pantai mencegat dan perangpun terjadi, 16 pucuk merian disita. Pihak Belanda menuntut pengembalian meriam itu. Belanda kemudian mulai meniupkan perang saudara. Tahun 1664, Sultan Ternate, Sultan Buton dan Arung Palakka dikumpulkan dalam suatu pertemuan di Batavia.

Mereka harus memerangi Sultan Hasanuddin, dan Belanda akan memberi bantuan. Sultan Hasanuddin sudah mengetahui cara Belanda itu, sikap lunak ditunjukkan karen aperang saudara harus dihindari. Sultan Hasanuddin mau berdamai tetapi meminta Belanda agar Bone, Buton dan Seram tidak dianak emaskan. Akan tetapi Belanda sudah berniat untuk menghancurkan Kerajaan Gowa.

Untuk mempersiapkan perang besar melawan Belanda, Sultan Hasanuddin harus menundukkan kerajaan yang sudah berhasil dibujuk oleh Belanda. Buton harus dibebaskan terlebih dahulu, Sultan Hasanuddin memerintahkan untuk menyiapkan sebuah ekspedisi ke timur. 700 buah kapal perang dan 20.000 prajurit di bawah pimpinan Laksamana Alimuddin Karaeng Bontomarannu beserta Sultan Bima dan Raja Luwu yang telah diangkat menjadi laksamana muda kerajaan Gowa memimpin armada tersebut.

Akhir Oktober 1666 Buton berhasil diduduki oleh Laksamana Karaeng Bontomarannu, akan tetapi Buton dapat dibebaskan oleh armada Belanda yang dipimpin oleh Admiral Speelman dan Arung Palakka yang ikut dalam armada itu. Belanda telah berhasil mengadu domba antara kerajaan-kerajaan Nusantara di belahan timur sehingga saling menyerang.

Perang Terbuka
Rapat penguasa Kolonial Belanda di Batavia tanggal 5 Oktober 1666 memutuskan untuk segara menaklukkan Kerajaan Gowa dan merebut Makassar. Armada Belanda dipimpin oleh Cornelius Speelman dibantu oleh Arung Palakka dan Kapten Jongker dari Manipa dan sekutu-sekutu Belanda. Armada itu berangkat dari Batavia 24 Nopember 1666 dengankekuatan yang besarnya 21 buah kapal perang besar 600 orang tentara Belanda, 400 laskar Arung Palakka dan Kapten Jongker. Armada itu tiba di depan bentang Somba Opu tanggal 15 Desember 1666.

Di dalam Kota Makassar di pusat Ibu Kota Gowa dan daerah di sepanjang pantai menjadi tegang. Menunggu saat-saat penyerangan Belanda. Para pedagang asing yang bermukim disana menghentikan kegiatannya dan membuat perlindungan. Semua meriam dan pasukan di seluruh benteng sudah siap, bahan makanan sudah dipersiapkan untuk persiapan perang beberapa bulan, sepanjang pantai dari Tallo sampai Bantaeng pasukan perlawanan rakyat sudah dipersiapkan pula.

Satu-satunya yang dikhawatirkan Sultan Hasanuddin adalah pasukan Bone yang berada di dalam daerah pertahanan Gowa yang sudah memberontak, dan armada perangnya dengan 700 kapal di bawah pimpinan Laksamana Karaeng Bontomarannu yang masih berada di Buton.

Saat-saat tegang Speelman mengirim utusan menemui Sultan Hasanuddin, utusan itu membawa tuntutan agar Sultan Hasanuddin menyerah saja dan membayar kerugian Belanda dalam perang terdahulu. Tuntutan Speelman ini hanya alasan untuk memulai penyerangan. Sultan Hasanuddin menjawab surat itu dengan berkata "Bila kami diserang, maka kami akan mempertahankan diri dan menyerang kembali dengan segenap kemampuan yang ada. Kami berada dipihak yang benar. Kami ingin mempertahankan kebenaran dan kemerdekaan negeri kami."

Saat yang ditunggu akhirnya tiba. Pagi buta tanggal 21 Desember 1666Bendera merah dikibarkan armada perang Speelman. Meriam-meriam Belanda mulai memuntahkan pelurunya, udarapun dipenuhi asap mesiu. Semangat perlawanan para prajurit Gowa terbakar dan menyala-nyala. Perahu kecil bersenjata menyerbu mendekati kapal perang Belanda. Dengan dilindungi oleh hujan yang sangat lebat armada semut perahu perang milik Kerajaan Gowa mulai menghantam dari dekat inti armada perang Speelman. Speelman menhgundurkan diri dari Somba Opu ke selatan meninggalkan pantai.

Di Laikang pantai sebelah selatan Makassar, pasukan-pasukan pendarat Speelman dan Arung Palakka mencoba mengadakan pendaratan. Pasukan Gowa bersama rakyat telah menanti dengan semangat pantang menyerah. Pasukan penjajah dibuat kocar-kacir olehnya. Tanggal 24 Desember 1666, armada Speelman mundur dan meninggalkan pantai Laikang, berlayar ke selatan dan mendaratkan pasukannya di Bantaeng esok harinya. Perahu-perahu dagang yang ramai dipantai waktu itu dihantam dan ditenggelamkan. Bantaeng dan 30 desa di sekitarnya dibumihanguskan, tak luput pula lumbung beras Kerajaan Gowa ikut dibakar.

Laskar kerajaan Gowa menyerbu dan perangpun berkecamuk Perkelahian satu lawan satu terjadi. Korban berjatuhan dikedua belah pihak. Setelah bertempur sehari semalam Speelman mundur dan semua pasukannya ditarik naik ke kapal. Speelman memutuskan untuk menghadapkan Sultan Hasanuddin dengan pasukan Raja-raja Buton, Ternate dan Bone untuk mengurangi kerugian dipihak mereka.

Kabar dari mata-mata Speelman juga memberitahukan bahwa armada inti kerajaan Gowa dibawah pimpinann Laksamana Karaeng Bontomarannu masih berada di Buton dengan 700 kapal perangnnya. Inilah kesempatan menghancurkan kekuatan laut Sultan Hasanuddin.

Tanggal 1 Januari 1667 armada Speelman tiba di Buton dan langsung menghantam armada Karaeng Bontomarannu yang sudah kelelahan menghadapi pasukan Buton di darat. Akhirnya Karaeng Bontomarannu menyerah tanpa syarat kepada Speelman pada tanggal 4 januari 1667. Kemenangan ini dirayakan Speelman. Kepada Sultan Buton, pihak Belanda memberikan hadiah 100 ringgit setahun.

Armada Speelman berlayar ke Ternate. Arung Palakka mengirim pasukannnya sebanyak 2000 orang ke Bone untuk membentuk pasukan baru untuk persiapan menyarang Gowa. Bulan Juni 1667 Speelman bersama Sultan Mandarsyah yang membawa pasuka Ternate, Bacan dan Tidore bergabung dengan pasukan Arung Palakka dan Kapten Jongker. Perang pecah tanggal 7 Juli setelah sekitar 7000 orang pasukan Gowa menyerang tiba-tiba. Empat hari kemudian armada Belanda berlayar menuju pusat Kerajaan Gowa. tanggal 19 Juli perairan Makassar sudah dipenuhi oleh kapal perang Belanda. Benteng Somba Opu sudah dikepung dari laut.

Perang Menentukan
Perang yang menentukan telah tiba. Bau mesiu dan darah memenuhi udara. Benteng Somba Opu yang menjadi pusat pertahanan utam kerajaan Gowa langsung dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dan Sultan Harun Al Rasyid Raja Tallo. Karaeng Bontosunggu memimpin benteng Ujungpandang dan Karaeng Popo memimpin pertahanan di benteng Panakkukang.

Tanggal 19 Agustus 1667 pagi hari, Benteng Galesong diserang oleh meriam pasukan Belanda, dalam serangan ini persedian beras kerajaan Gowa di Galesong berhasil dibakar Belanda. Hari demi hari perang berkecamuk. Diawal September 1667 Speelman memindahkan perhatiannya. Di daratan 6000 orang pasukan Arung Palakka bersama Kapten Poolman menyerang Galesong dan Barombong. Dengan meriam besar jarak jauh milik pasukan Gowa mengusir armada Speelman. Di darat pasukan Arung Palakka berhasil dipukul mundur.

Keadaan ini membuat Speelman meminta bantuan  dari Batavia. Belanda mengirim 5 kapal perang besar dibawah komando Kapten P. Dopun. Tanggal 22 Oktober 1667 Armada Speelman dan Dupon mengepung rapat Makassar. Dengan meriam-meriam besar, benteng Barombong dibobol. Pasukan Speelman didaratkan di Galesong dibantu Arung Palakka. Somba Opu dikepung dari laut maupun darat. Terjadi pertempuran yang sangat sengit antara Gowa dan pasukan Bone, Ternate, Buton dan Maluku, korban berjatuhan dari bangsa sendiri yang diadu oleh Belanda.

Kedua belah pihak sudah sangat kelelahan. Tanggal 5 Nopember 1667 Speelman melapor ke Batavia bahwa pasukannya sudah sangat lelah, semangat tempur merosot. 182 serdadu dan 95 matros jatuh sakit. Pasukan Buton, Ternate dan Bugis juga diserang sakit perut. Speelman minta dikirimi lagi perlengkapan dan prajurit. Pasukan Sultan Hasanuddin juga mengalami hal serupa. Pertempuran selama berbulan dan pengepungan benteng sangat mencemaskan dan merisaukan Sultan Hasanuddin. Setelah 4 hari bertempur, benteng Barombong direbut Belanda, tetapi semangat semangat prajurit Gowa masih membara. Sultan Hasanuddin masih mampu meneruskan perang.

Sultan Hasanuddin dikenal arif dan bijaksana. Beliau merasa sedih karena harus bertempur melawan keluarga sendiri. Arung Palakka La Tenri Tatta to Erung sudah seperti saudara kandung sendiri. Speelman kemudian mengusulkan perdamaian. Sultan Hasanuddin mempertimbangkan bahwa pertumpahan darah di kalangan orang Makassar dan Bugis harus segera dihentikan.

Meneruskan perang hanya akan menguntungkan Belanda. Perundingan antara Speelman dan Sultan Hasanuddin diadakan di Bungaya dekat benteng Barombong yang sudah direbut Belanda. Setalah berkali-kali berunding, maka pada hari Jum'at tanggal 18 November 1667, tercapailah suatu perjanjian perdamaian yang dikenal sebagai "Cappaya Ri Bungaya" atau perjanjian Bungaya. Perjanjian ini tidak berlangsung lama karena memberatkan kerajaan Gowa. Benteng Ujungpandang diserahkan kepada Speelman dan diganti namanya menjadi "Fort Rotterdam". Speelman juga mempersiapkan benteng ini untuk bertahan dan menyerang, karena keyakinannya bahwa perjanjian Bungaya akan segera batal.

Perang Terakhir
Raja Tallo Sultan Harun Al Rasyid, Karaeng Lengkese, dan Arung Matowa Wajo tidak menerima perjanjian Bungaya. Pasukannya ditarik, tekad mereka tetap. "Hanya Mayat yang bisa menyerah". Karaeng Karunrung mendesak Sultan Hasanuddin membatalkan Perjanjian Bungaya. Akhirnya perang pecah kembali tanggal 21 April 1668. Karaeng Karunrung menyerang benteng Ujungpandang (Fort Rotterdam). Hari demi hari bulan demi bulan perang terus berkecamuk.

Dalam catatan buku harian Speelman tertulis antara lain: "Pertempuran berlangsung sengit. Banyak orang Belanda mati atau luka, Arung Palakka juga menderita luka. Setiap hari 7 atau 8 orang serdadu Belanda dikuburkan. Speelman jatuh sakit. 5 orang dokter, 15 pandai besi tewas. Tenaga bantuan dari Batavia hanya 8 orang yang masih sehat. Dalam tempo 4 minggu, 139 orang mati dalam benteng Ford Rotterdam dan 52 orang tewas di kapal".

Sultan Hasanuddin memerintahkan untuk melakukan perbaikan kembali benteng yang rusak. Tanggal 5 Agustus 1668, Karaeng Karunrung membawa pasukannya menyerbu Fort Rotterdam. Pada serangan ini Arung Palakka nyaris tewas. Speelman meminta bantuan dari Batavia. Pasukan dan peralatan perang dari Batavia tiba pada bulan April 1669. Meriam besar dibuat dan larasnya diarahkan ke benteng Somba Opu. Parit-parit pertahanan ke benteng Somba Opu sudah dibuat, persiapan Belanda sudah matang.

Akhirnya pada tanggal 15 Juni 1669 pasukan Speelman menyerang benteng Somba Opu. Pertempuran berlangsung siang dan malam. Meriam Belanda menembakkan lebih 30.000 biji peluru ke benteng Somba Opu. Patriot kerajaan Gowa tetap memberikan perlawanan yang gigih atas serangan Belanda dan hujan peluru.

Setelah perang selama selama 10 hari siang dan malam, maka pada tanggal 24 Juni 1669 seluruh benteng Somba Opu dikuasai Belanda. Tdak kurang 272 pucuk meriam besar dan kecil termasu meriam keramat "Anak Mangkasara" dirampas Speelman. Sultan Hasanuddin mundur ke benteng Kale Gowa di Maccini Sombala dan Karaeng Karunrung meninggalkan istananya di Bontoala mundur ke Benteng Anak Gowa.

Benteng Somba Opu kemudian diratakan dengan tanah, beribu-ribu kilo amunisi meledakkan benteng yang tebalnya 12 kaki ini. Udara merona merah dan tanah seakan gempa. Mayat-mayat bergelimpangan dimana-mana. Hangus dibakar ledakan mesiu dan api yang menjilat. Seluruh Istana Somba Opu dihancurkan.

Sultan Hasanuddin kalah perang, tetapi menurut pengakuan Belanda, pertempuran inilah yang paling dahsyat dan terbesar serta memakan waktu yang paling lama dari yang pernah dialami Belanda dibumi Nusantara waktu itu. Sultan Hasanuddin dan Pasukannya dijuluki "Ayam Jantan Dari Timur" karena semangatnya yang pantang mundur.

Turun Tahta Dan Wafat
Setelah kekalahan yang diderita Kerajaan Gowa dan mundurnya Sultan Hasanuddin dari benteng Somba Opu ke benteng Kale Gowa, maka usaha Speelman memecah belah persatuan kerajaan Gowa terus dilancarkan. Usaha ini berhasil, setelah diadakan "pengampunan umum". Siapa yang mau menyerah diampuni Belanda. Beberapa pembesar kerajaan menyatakan menyerah. Karaeng Tallo dan Karaeng Lengkese menyatakan tunduk pada Perjanjian Bungaya.

Sultan Hasanuddin sudah bersumpah tidak akan sudi bekerja sama dengan penjajah Belanda. Pada tanggal 29 Juni 1669 Sultan Hasanuddin meletakkan jabatan sebagai Raja Gowa ke-16 setelah selama 16 tahun berperang melawan penjajah dan berusaha mempersatukan kerajaan Nusantara. Sebagai penggantinya ditunjuk putranya I Mappasomba Daeng Nguraga Bergelar Sultan Amir Hamzah. Sesudah turun tahta, Sultan Hasanuddin banyak mencurahkan waktunya sebagai pengajar Agama Islam dan berusaha menanamkan rasa kebangsaan dan persatuan.

Pada hari Kamis tanggal 12 Juni 1670 bertepatan dengan tanggal 23 Muharram 1081 Hijriah. Sultan Hasanuddin wafat dalam usia 39 tahun. Beliau dimakamkan disuatu bukit di pemakaman Raja-raja Gowa di dalam benteng Kale Gowa di Kampung Tamalate.

I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla'Pangkana telah tiada. Tetapi semangatnya tetap berkobar di dada setiap insan bangsa yang mendambakan perdamaian dan kebebasan di Bumi Pancasila ini.

Nama Sultan Hasanuddin abadi dalam dada. Menghormati jasanya dengan mengabadikan namanya menjadi nama jalan pada hampir disetiap Kota di Nusantara. Universitas Hasanuddin sebagai salah satu universitas terkemuka di INdonesia bagian Timur, mempergunakan namanya dan memakai lambangnya "Ayam Jantan Dari Timur". Komando Daerah Militer (KODAM) XIV Hasanuddin mengabadikan namanya dan menjadikan semboyannya "Abbatireng Ri Pollipukku" (setia pada Negeriku). Dan dengan keputusan Presiden RI No. 087/TK?tahun 1973 Tanggal 6 November 1973, Sultan Hasanuddin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, untuk menghargai jasa-jasa kepahlawanannya.
 
 

Teuku Umar

Teuku Umar
Indotoplist.com : Aceh merupakan salah satu wilayah yang memiliki peran sangat besar terhadap perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah. Di tanah ini, banyak muncul pahlawan-pahlawan nasional yang sangat berjasa, tidak hanya untuk rakyat Aceh saja tapi juga untuk rakyat Indonesia pada umumnya. Salah satu pahlawan tersebut adalah Teuku Umar. Ia dilahirkan pada tahun 1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat) di Meulaboh, Aceh Barat, Indonesia. Ia merupakan salah seorang pahlawan nasional yang pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun 1899.
Teuku Umar
1. Riwayat Hidup 

Aceh merupakan salah satu wilayah yang memiliki peran sangat besar terhadap perjuangan dan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah. Di tanah ini, banyak muncul pahlawan-pahlawan nasional yang sangat berjasa, tidak hanya untuk rakyat Aceh saja tapi juga untuk rakyat Indonesia pada umumnya. Salah satu pahlawan tersebut adalah Teuku Umar. Ia dilahirkan pada tahun 1854 (tanggal dan bulannya tidak tercatat) di Meulaboh, Aceh Barat, Indonesia.

Ia merupakan salah seorang pahlawan nasional yang pernah memimpin perang gerilya di Aceh sejak tahun 1873 hingga tahun 1899. Kakek Teuku Umar adalah keturunan Minangkabau, yaitu Datuk Makdum Sati yang pernah berjasa terhadap Sultan Aceh. Datuk Makdum Sati mempunyai dua orang putra, yaitu Nantan Setia dan Achmad Mahmud. Teuku Achmad Mahmud merupakan bapak Teuku Umar. Ketika perang aceh meletus pada 1873 Teuku Umar ikut serta berjuang bersama pejuang-pejuang Aceh lainnya, padahal umurnya baru menginjak19 tahun. Mulanya ia berjuang di kampungnya sendiri yang kemudian dilanjukan ke Aceh Barat. Pada umur ini, Teuku Umar juga sudah diangkat sebagai keuchik (kepala desa) di daerah Daya Meulaboh.

Kepribadiaan Teuku Umar sejak kecil dikenal sebagai anak yang cerdas, pemberani, dan kadang suka berkelahi dengan teman-teman sebayanya. Ia juga memiliki sifat yang keras dan pantang menyerah dalam menghadapi segala persoalan. Teuku Umar tidak pernah mendapakan pendidikan formal. Meski demikian, ia mampu menjadi seorang pemimpin yang kuat, cerdas, dan pemberani. Pernikahan Teuku Umar tidak sekali dilakukan. Ketika umurnya sudah menginjak usia 20 tahun, Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang.

Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Sejak saat itu, ia mulai menggunakan gelar Teuku. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dien, puteri pamannya. Sebenarnya Cut Nyak Dien sudah mempunyai suami (Teuku Ibrahim Lamnga) tapi telah meninggal dunia pada Juni 1978 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun. Setelah itu, Cut Nyak Dien bertemu dan jatuh cinta dengan Teuku Umar. Keduanya kemudian berjuang bersama melancarkan serangan terhadap pos-pos Belanda di Krueng. Hasil perkawinan keduanya adalah anak perempuan bernama Cut Gambang yang lahir di tempat pengungsian karena orang tuanya tengah berjuang dalam medan tempur.

Belanda sempat berdamai dengan pasukan Teuku Umar pada tahun 1883. Satu tahun kemudian (tahun 1884) pecah kembali perang di antara keduanya. Pada tahun 1893, Teuku Umar kemudian mencari strategi bagaimana dirinya dapat memperoleh senjata dari pihak musuh (Belanda). Akhirnya, Teuku Umar berpura-pura menjadi antek (kaki tangan) Belanda. Istrinya, Cut Nyak Dien pernah sempat bingung, malu, dan marah atas keputusan suaminya itu.

Gubernur Van Teijn pada saat itu juga bermaksud memanfaatkan Teuku Umar sebagai cara untuk merebut hati rakyat Aceh. Teuku Umar kemudian masuk dinas militer. Atas keterlibatan tersebut, pada 1 Januari 1894, Teuku Umar sempat dianugerahi gelar Johan Pahlawan dan diizinkan untuk membentuk legium pasukan sendiri yang berjumlah 250 tentara dengan senjata lengkap.

Saat bergabung dengan Belanda, Teuku Umar sebenarnya pernah menundukkan pos-pos pertahanan Aceh. Peperangan tersebut dilakukan Teuku Umar secara pura-pura. Sebab, sebelumnya Teuku Umar telah memberitahukan terlebih dahulu kepada para pejuang Aceh. Sebagai kompensasi atas keberhasilannya itu, pemintaan Teuku Umar untuk menambah 17 orang panglima dan 120 orang prajurit, termasuk seorang Pangleot sebagai tangan kanannya akhirnya dikabulkan oleh Gubernur Deykerhorf yang menggantikan Gubernur Ban Teijn. Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar kemudian keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar.

Dengan kekuatan yang semakin bertambah, Teuku Umar bersama 15 orang berbalik kembali membela rakyat Aceh. Siasat dan strategi perang yang amat lihai tersebut dimaksudkan untuk mengelabuhi kekuatan Belanda pada saat itu yang amat kuat dan sangat sukar ditaklukkan. Pada saat itu, perjuangan Teuku Umar mendapat dukungan dari Teuku Panglima Polem Muhammad Daud yang bersama 400 orang ikut menghadapi serangan Belanda. Dalam pertempuran tersebut, sebanyak 25 orang tewas dan 190 orang luka-luka di pihak Belanda. Gubernur Deykerhorf merasa tersakiti dengan siasat yang dilakukan Teuku Umar. Van Heutsz diperintahkan agar mengerahkan pasukan secara besar-besaran untuk menangkap Teuku Umar. Serangan secara mendadak ke daerah Melaboh menyebabkan Teuku Umar tertembak dan gugur dalam medan perang, yaitu di Kampung Mugo, pedalaman Meulaboh pada tanggal10 Februari 1899.
2. Pemikiran

Sejak kecil, Teuku Umar sebenarnya memiliki pemikiran yang kerap sulit dipahami oleh teman-temannya. Ketika beranjak dewasa pun pemikirannya juga masih sulit dipahami. Sebagaimana telah diulas di atas bahwa taktik Teuku Umar yang berpura-pura menjadi antek Belanda adalah sebagai bentuk “kerumitan” pemikiran dalam dirinya. Beragam tafsir muncul dalam memahami pemikiran Teuku Umar tentang taktik kepura-puraan tersebut. Meski demikian, yang pasti bahwa taktik dan strategi tersebut dinilai sangat jitu dalam menghadapi gempuran kolonial Belanda yang memiliki pasukan serta senjata sangat lengkap.

Teuku Umar memandang bahwa “cara yang negatif” boleh-boleh saja dilakukan asalkan untuk mencapai “tujuan yang positif”. Jika dirunut pada konteks pemikiran kontemporer, pemikiran seperti itu kedengarannya lebih dekat dengan komunisme yang juga menghalalkan segala cara. Semangat perjuangan Teuku Umar dalam menghadapi kolonialisme Belanda yang pada akhirnya mendorong pemikiran semacam itu.

3. Karya


Karya Teuku Umar dapat berupa keberhasilan dirinya dalam menghadapi musuh. Sebagai contoh, pada tanggal 14 Juni 1886, Teuku Umar pernah menyerang kapal Hok Centon, milik Belanda. Kapal tersebut berhasil dikuasai pasukan Teuku Umar. Nahkoda kapalnya, Hans (asal Denmark) tewas dan kapal diserahkan kepada Belanda dengan meminta tebusan sebesar 25.000 ringgit. Keberanian tersebut sangat dikagumi oleh rakyat Aceh. Karya yang lain adalah berupa keberhasilan Teuku Umar ketika mendapatkan banyak senjata sebagai hasil dari pengkhianatan dirinya terhadap Belanda.

4. Penghargaan


Berdasarkan SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Nama Teuku Umar juga diabadikan sebagai nama jalan di sejumlah daerah di tanah air, salah satunya yang terkenal adalah terletak di Menteng, Jakarta Pusat. Selain itu, namanya juga diabadikan sebagai nama sebuah lapangan di Meulaboh, Aceh Barat.
Sumber : www.melayuonline.com

Rabu, 07 November 2012

Dahlan Iskan Siap Hadapi Tuntutan Hukum

Metrotvnews.com, Jakarta: Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan mengaku tidak gentar sedikitpun untuk terus mengungkap nama-nama oknum DPR yang berupaya memeras perusahaan milik negara. Ia siap menghadapi tuntutan mereka.

"Kalau ada yang akan menuntut saya dengan menggunakan pasal pencemaran nama baik, tidak apa-apa. Tuntut saja, saya siap mengahadapinya," kata Dahlan Iskand di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Rabu (7/11).

Menurut Dahlan, tindakannya menyampaikan nama oknum pemeras BUMN kepada Badan Kehormatan DPR berarti ia sudah siap dengan segala konsekuensinya.

Dahlan juga tidak mempermasalahkan jika ada orang-orang yang meragukan langkahnya dalam mengungkap adanya permintaan upeti terhadap sejumlah BUMN.

"Kalau yang saya laporkan kemarin (5/11) itu belum dianggap bukti, saya tidak tahu bagaimana pemberantasan korupsi di negara ini, serius atau tidak sih," tegas Dahlan.

Pada Senin (5/11) lalu Dahlan Iskan memenuhi panggilan Badan Kehormatan DPR. Ia menyampaikan dua nama oknum DPR yang diduga melakukan pemerasan kepada BUMN.

Menurut rencana, Rabu (7/11) hari ini, Dahlan akan mengirim surat ke Badan Kehormatan untuk memberikan sejumlah nama lagi yang terindikasi memeras BUMN. "Tunggu saja, hari ini saya akan ke BK lagi," kata Dahlan. (ant/DOR)

Mitt Romney Sementara Ungguli Barack Obama

VIVAnews – Calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Mitt Romney, sementara ini mengungguli calon presiden incumbent dari Partai Demokrat, Barack Obama. Seperti dilansir Fox News, 7 November 2012, Romney sejauh ini berhasil mengumpulkan 154 electoral vote, sedangkan Obama 143.

Romney diproyeksikan menguasai electoral vote di Alabama, Mississippi, Oklahoma, Tennessee, Arkansas, West Virginia, South Carolina, Georgia, Indiana, dan Kentucky. Sementara Obama diproyeksikan menguasal electoral vote di Illinois, Delaware, Connecticut, Maryland, Massachusetts, New Jersey, Rhode Island, Vermont, dan District of Columbia.

Apabila electoral vote bagi salah satu kandidat telah mencapai 270, maka kandidat itu dipastikan akan memenangkan Pemilu Amerika Serikat. Di AS, pemenang pemilu bukan ditentukan dari jumlah suara populer terbanyak, namun melalui mekanisme penghitungan khusus yang disebut electoral college.

Menurut stasiun berita BBC, berdasarkan mekanisme itu, setiap negara bagian diberi sejumlah electoral votes dalam komposisi yang berbeda, sesuai dengan proporsi penduduk masing-masing. Pemenang ditentukan bila berhasil meraih sedikitnya 270 electoral votes. (eh)

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | cheap international calls